Tuesday, March 19, 2013

9 Tahun Yang Lalu


Dulu semasa di pesantren, saya sempat bergabung dengan SSA (Sanggar Sastra Al-Amien), salah satu kelompok pecinta sastra paling bergengsi di lingkungan pesantren kami. Jujur memang saya tergolong anggota yang tidak terlalu aktif di kelompok ini, tapi setidaknya dari sini saya sempat belajar sedikit-demi sedikit tentang dunia kepenulisan, baik berupa Puisi, Cerpen, Berita, dan jenis tulisan lainnya. 

Dan siang ini, saya teringat kalau dulu saya sempat mendapat tugas dari guru senior di SSA untuk menulis sebuah Cerita Pendek (Cerpen). Lalu, iseng iseng saya pun mengotak-atik folder-folder pribadiku, dan menemukan file cerpen tersebut masih tersimpan rapi di salah satu folder dalam Net Bookku,yang sebelumnya memang saya pindahkan dari hardish computerku yang telah lama rusak. File tersebut berkumpul dengan file tugas-tugas kelas akhir saya waktu di pesantren dulu. 

saya tidak tahu kapan tanggal pastinya saya menyelesaikan cerpen tersebut, tapi yang jelas saya masih ingat kalau saya menulisnya sekitar  Tahun 2005, ketika saya masih duduk di kelas 5 TMI Al-Amien Prenduan waktu itu. Tanpa terasa usia cerpen ini sudah sekitar sembilan tahunan lamanya. Wew, betapa waktu terasa demikian singkat.

Ini dia cerpen tersebut, masih asli, tanpa editing, tanpa imbuhan garam, vetsin, dan penyedap rasa lainnya. So, harap dimaklumi kalau terlihat masih alay dan cupu hehe..:D Here we go! :

DERAI DERAI KAMPUNG HALAMAN
Oleh : Imam Bukhori Muslim

Sudah dua jam aku terkatung-katung dalam angkutan desa ini. Perjalanan ke rumahku memang cukup melelahkan. Di sana-sini banyak jalan rusak dan berlubang. Tidak jauh beda dengan tiga tahun lalu sewaktu aku masih berada di desa ini. Entah mengapa keprihatinan pemerintah setempat seakan pudar, tidak pernah menghiraukan keadaan lingkungannya. Aku sering berpikir kemanakah bantuan yang dikirimkan pemerintah pusat selama ini. Semua itu seakan hilang tak berbekas. Di samping itu semua, perjalanan kadang menanjak dan berliku.
Kini kusapukan pandanganku pada hamparan persawahan yang luas. Tampak dari kaca mobil yang kutumpangi beberapa petani berjalan beriringan di pematang sawah. Aku jadi teringat mendiang ayahku, ketika beliau masih hidup. Beliau adalah salah satu tipe orang yang ulet dan tekun dalam bekerja.
”Buang sifat malas itu jauh-jauh cong…!” Begitulah ayah sering menasehatiku. Aku selalu ingat pesan itu, dan telah kucoba menerapkannya dalam keseharianku.
Matahari sudah pas di atas kepala. Kulihat arlojiku, jam sudah menunjukkan pukul setengah satu. Udara semakin memanas. Kukipas-kipaskan koran yang tadi pagi aku beli dari stasiun dengan tidak melepaskan pandanganku pada pemandangan di samping kiri-kananku.
Perjalanan terus berlanjut. Pepohonan seakan berkejaran saling mendahului. Kuedarkan pandanganku ke seluruh penumpang mobil yang kutumpangi ini. Semua orang tampak kelelahan dan kepanasan. Akupun begitu, peluh mulai meleleh dari keningku dan membasahi wajahku. Kuambil sapu tangan dari dalam saku celana dan kulapkan pada wajahku untuk mengurangi rasa gerah.
“Turun mana dik ..!” tegur seorang kenek padaku.
“Desa Suramadu mas,” jawabku pelan.
Kulihat kenek itu hanya manggut-manggut. Setelah itu tidak ada pertanyaan lagi. Aku tidak peduli dengan kejadian tadi, karena sebentar lagi aku akan sampai di rumahku.
“Desa Suramadu pir…!” Tteriak kenek tibatiba dengan lantang.tanpa banyak kata supir itu menghentikan kendaraannya tepat didepan balai desa.
Setelah membayar ongkos pada kenek akupun segera turun dari mobil. Dari balai desa ini aku harus berjalan beberapa meter ke timur karena letak rumahku berada di sebelah timur balai desa ini. Setelah berjalan beberapa meter ke arah timur. Alhamdulillah akhirnya aku sampai juga di rumah yang telah kutinggalkan selama tiga tahun lebih ini.
Aku bediri mematung di pinggir jalan depan rumahku. Rumah mungil dengan latar belakang genting bercat merah. Kupandangi dengan seksama rumah yang telah lama  kutinggalkan ini. Semuanya tidak ada yang berubah seperti tiga tahun lalu. Cuma ada beberapa bagian yang direnofasi rupanya. Di teras depan berjejer beberapa pot tanaman hias. Aku masih ingat, dulu aku sering menyirami seluruh pot-pot itu. Sedangkan di halaman rumah ada satu buah pohon mangga dengan buah-buahnya yang sudah mulai mengunimg.
Sungguh aku sangat meindukan rumah ini. Aku rindu akan bunga-bunga di pot itu untuk kusirami kembali. Lantas betapa asiknya aku memakan buah mangga itu jika sudah masak. Apalagi sekarang sudah menguning. Ingin rasanya aku memetiknya, lalu merasakannya betapa buah itu sangat manis rasanya.
Setelah lama mematung di depan rumah, bakhirnya aku langkahkan kakiku masuk ke dalam halaman rumah yang begitu kurindukan ini.
“Assalamualaikum…!”.
“Waalaikumsalam.” Terdengar seseorang menjawab salamku dari dalam. Suara itu sudah tidak asing lagi bagi diriku, dialah ibuku yang telah membesarkanku. Perempuan separuh baya itu kini terpaku memandang ke arahku. Segera aku mendekatinya untuk bersalaman. Rupanya ibuku tidak kuasa menahan rasa haru yang mendalam. Dari mata yang mulai sayu itu kini mengalir buliran-buliran bening menyerupai kristal. Akupun tak dapat menyembunyikan keharuanku. Lagi, kini mataku sudah mulai basah karena air mata.
~~(Me & You)~~
Sudah dua hari ini aku berada dalam keheningan kampung halamanku. Matahari sudah mulai tenggelam, ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi. Segar rasanya kembali menikmati air pegunungan. Sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang. Aku harus segera berkemas untuk pergi ke masjid dekat rumahku dan ingin merasakan betapa indahnya sholat berjama’ah bersama orang-orang kampung. Dan pastinya lagi mereka akan menyapaku.
“Tok.. tok.. tok….” Tiba-tiba saja terdengar suara ketokan dari luar.
“Iya.. sebentar,” jawabku berteriak seraya bangkit menuju pintu. Kubuka pintu dengan pelan, seraut wajah mungil berumur tujuh tahunan menyembul dari luar.
“ Kak… ada kak rino di depan, katanya sedang menunggu kakak.”
“Oh iya, makasih ya An, bilang sama  kak Rino tunggu sebentar.” Aku baru sadar kalau aku punya janji sama Rino, mau pergi ke mushalla kampung sekaligus silaturrahim sama teman-teman lamaku.
“Yuk No, cabut!”
“Loh…, kok keburu, padahal ibu sudah bikin minuman buat nak Rino.” Ibuku tiba-tiba saja datang dengan menjinjing nampan berisi minuman.
“Ya udah no, diminum aja dulu.”
“Mau kemana sih? Kok kayaknya  buru-buru  banget.”
“Mau silaturrahim ke teman-teman bu, sudah dua hari ini aku diam di rumah, kan sumpek di rumah terus.” Ibuku hanya tersenyum mendegar penuturanku.
“Yuk no berangkat!” ujarku seraya bangkit dari sofa yang kududuki
“Hati hati ar…!”
Letak mushalla kampungku sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja jalannya lumayan  berliku. Untuk sampai ke mushalla aku harus melewati beberapa perumahan yang berjejer di pinggir jalan kampung. Dari perumahan penduduk tampak lampu lampu tempel mulai besinar menerangi jalan.yang kulalui.Semua rumah penduduk diterangi lampu tempel,karena memang hingga kini,kampungku belum terjamah PLN.
Setelah kurang lebih lima belas menit mengitari perumahan penduduk, akhirnya aku dan Rino sampai juga di Mushalla kampung yang kami tuju. Ada beberapa pemuda seusiaku tengah duduk bergerombol di teras Mushalla.Wajah wajah mereka sudah tidak asing lagi bagi diriku, mereka adalah teman temanku dulu waktu SD.
“Hallo teman teman…! lihaat siapa yang saya bawa”. teriakan Rino mengagetkan mereka, hingga semua mata tertuju pada diriku.
“Ardi …!” Teriak mereka histeris menyerupai sebuah kur. Akupun berhambur menuju mereka. Kupeluk mereka satu persatu untuk melepaskan kerinduanku yang teramat sangat.
“Tambah ganteng aja kamu Ar…”. Tiba tiba saja terdengar celetuk di antara mereka.
“Ah…bisa aja kamu Dod..!”. Timpalku sekenanya tuk menahan merah mukaku.
“Iya nih tambah gemuk  lagi.” Dino nyeletuk dari belakang.Temanku yang satu ini orangnya agak kurusan,hingga tak jarang teman temanku yang lain menjulukinya dengan si ”krempeng”. teman temanku kembali riuh dengan ledekan dino tadi.
“Oh iya Din,gimana sekolahnya ?.”
“Alhamdulillah Ar lulus,kamu sendiri gimana ?”.
“ Ya berkat do’a kalian semua aku sudah jadi ustad sekarang.” Gurauku sekenanya.
“Ar lihat tuh…!.” Rino yang dari tadi diam tiba tiba angkat bicara sambil memberi isyarat dengan dagunya. Kupalingkan mukaku kearah yang ditunjuk rino.Seketika deg…tampak tiga orang perempuan berkerudung berjalan gontai menuju kemari. Salah satu dari mereka ada yang sudah saya kenal, Aisyah. Sebelum sempat kuberpaling tiba tiba mata kami saling beradu. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Tiba tiba saja aku menjadi kikuk, apa lagi ledekan teman teman kian menjadi.
Aisyah berlalu di samping gerombolan kami dengan tertunduk. Tampak wajahnya memerah menahan ledekan teman temanku. Sementara akupun tak dapat menahan perubahan rona mukaku. Aku hanya bisa menatap langkah gontai Aisyah hingga hilang di telan pintu Mushalla.
“Ah, kalian ini bikin malu aku saja.lihat tuh aisyah marah…!”
“Itu sih bukan marah, api takjub melihat sang pangeran datang” Sambil berkata begitu Dodi dengan cepat melejit menghindari cubitanku.
“Sudahlah Ar…tampaknya shalat jamaah akan segera di mulai, dari pada ketinggalan shalat jamaah lebih baik kita shalat dulu.” Sambil memegang lenganku rino menimpali dari belakang.Akupun urung tuk mengejar Dodi.
Dengan perasaan yang tidak menentu kulangkahkan kakiku menyejajari teman temanku yang sudah mulai masuk ke mushalla. Di sana sudah banyak orang orang berjejalan.Kuselipkan diriku diantara jejalan para jamaah. Aku tidak berani menoleh kebelakang karena di sana para jamaah wanita lumayan banyak. Tentunya di sana juga ada Aisyah, Aku tidak berani memandangnya aku takut ia marah karena kejadian tadi. Akhirnya kuputuskan untuk mengonsentrasikan pikiranku pada shalatku saja. Selang beberapa lama kemudian aku telah larut dalam shalat yang kutunaikan.
~~(Me & You)~~
Sudah lima belas menit aku duduk termangu di belakang mushalla, menunggu kedatangan Aisyah. Entah sudah yang keberapa kalinya kulirik arlojiku. Malam ini adalah malam yang bahagia sekaligus duka bagi diriku, bahagia karena besok aku akan berangkat melanjutkan studyku ke mesir, namun disamping itu semua hatiku tak kuat menahan gejolak karena akan berpisah dengan Aisyah. Semua ini bermula sejak seminggu yang lalu aku menerima telegram dari Mesir, bahwasanya aku diterima sebagai mahasiswa univesitas AL-AZHAR Cairo. Aku sangat bersyukur dengan semua itu, tapi itu berarti aku harus berpisah dengan Aisyah.itulah yang menjadi beban pikiranku saat ini.
“Eh..no tadi pagi dia bilang apa ? mau datang ngga’?” Aku sudah tak sabar lagi.
“Tenang Ar dia pasti datang,sabar dikit kenapa.” Tampaknya Rino sudah mulai kesal dengan sikapku.
Dari kejahuan kulihat berkelebat dua bayangan berkerudung.Kupicingkan kelopak mata tuk menajamkan pengelihatanku. Makin lama makin tampak, Aisyah berjalan beriringan dengan Maisaroh temannya.
“Maaf kak… agak terlambat, soalnya tadi Iis masih bantu bantu Ummi.”
“Ah…nggak apa apa is, aku juga baru datang kok.” Kilahku sekenanya.
“Oh …iya roh, tampaknya kita mengganggu nih..”. Rino nyeletuk dari belakang.aku mengerti maksud Rino, ia membiarkan kami agar lebih leluasa berdua.
“Rino, Maisaroh, terima kasih.” Ujarku lirih sebelum mereka berlalu meninggalkan kami. Rino hanya mengangguk sambil menepuk nepuk pundakku.
” Semoga sukses.” Ujarnya lirih, lalu berlalu meninggalkan kami berdua. Sepeninggal Rino dan Maisaroh, kuajak Aisyah untuk duduk di bawah pohon tempatku duduk tadi.
“Kak, kapankah kita akan bertemu lagi?” Dengan suara parau tiba tiba saja Aisyah menjejaliku dengan pertanyaan yang sulit aku jawab. Sambil memeluk kedua lututnya, matanya tertunduk memandangi jemari lentik kakinya.
“Entahlah Is, mungkin kalau tidak ada halangan, insyaallah tiga tahun lagi aku akan kembali untuk meminangmu.”
“Aku takut kak…, aku takut kita tidak bertemu lagi.” Kali ini Aisyah tidak dapat menahan bendungan  air matanya lagi. Isaknya mulai terdengar, sementara wajahnya ditelungkupkan pada kedua lututnya. Akupun sudah tak kuat lagi menahan desakan air mata yang sedari tadi ingin keluar. Dengan segenap jiwaku, kurangkul dan kurebahkan kepalanya pada dada bidangku. Damai rasanya hati ini.
“Ssst… jangan bilang begitu Is, berdoalah dan yakinkanlah dirimu, aku pasti kembali.”
Malam makin memuncak, seiring dengan berputarnya waktu. Bulanpun tampak malu-malu bersembunyi di balik temaram awan. Kukendorkan dekapanku pada pundak Aisyah. Berat rasanya kulepaskan pelukanku ini, karena aku tak ingin bearpisah dengannya.
“Is, tampaknya malam semakin larut, kamu harus cepat pulang.” Bisikku. aku bangkit dari dudukku, dan berjalan beberapa langkah hingga membelakangi Aisyah. Aisyah pun bangkit mengikutiku. dari belakang dan menahan pundakku. Dengan perlahan kubalikkan badanku menghadap padanya. kulihat mata teduh itu semakin penuh dengan air mata.
“Kak, sebelum kakak pergi aku mau kakak menyimpan ini.” Sambil berkata begitu Aisyah melepaskan sebuah kalung yang menempel di lehernya dan mengalungkannya padaku. kembali kupeluk erat Aisyah dengan segenap jiwaku.
”Aku akan menunggumu kak…”. Suara serak Aisyah menggema di gendang telingaku untuk yang kesekian kalinya .lalu ia berbalik dengan langkah lunglai dan tak menoleh lagi. ingin kumenjerit memanggil namanya, namun aku tak mampu. aku haya bisa menatap langkah langkah lunglai dan kobaran jilbabnya berkelebat di kegelapan malam. aku terus menatap sosok aisyah hingga hilang ditelan tikungan. “Selamat tinggal Aisyah”. Gumamku dalam hati.
                                   
Al-Amien, 2005
...........................................
Cairo, 19 Maret 2013 M

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan dan komentar anda..^_^