Friday, November 26, 2010

Yang Masih Tersisa Dari Idul Adha 2010

ilustrasi
Ibrims.com; - Hari Raya Idul Adha tahun ini boleh jadi adalah sebuah sejarah dalam hidupku, dimana saat itu karena satu dan lain hal akhirnya aku harus meninggalkan Shalat Idul Adha. Semuanya berawal dari seorang teman yang mengajakku untuk berburu musaádah pada Hari Raya Idul Adha Kali ini.

Musaádah atau bantuan merupakan kegiatan amal yang seringkali dilakukan para dermawan Mesir. Pada bulan dan hari-hari tertentu, seperti Bulan Puasa, Hari Raya Idul Fitri, dan Idul Adha, biasanya para dermawan mesir sedang gencar-gencarnya memberi bantuan kepada para wafidin, atau orang-orang asing non Arab yang berada di Mesir. Khususnya pada wafidin yang berasal dari Indonesia. Mereka sangat senang memberi bantuan kepada para mahasiswa dari indonesia karena menurut mereka orang-orang dari indonesia sangat baik dan ramah.


Nah, kali ini kabarnya akan ada seorang dermawan Mesir yang akan membagikan musaádah pada para wafidin, dan dalam hal ini kebetulan wafidin dari indonesia juga mendapat kuota pembagian, untuk itu aku mengiyakan saja ketika seorang temanku menawarkan kesempatan ini dan mencatat namaku dalam daftar orang-orang yang mendapat jatah pembagian musaádah.

Aku dan teman-teman pun cukup sumringah mendapat kesempatan yang menurut kami langka ini, karena menurut berita yang kami terima musaádah ini berupa uang dan daging kurban. Walaupun kami tidak tahu nominalnya, tapi paling tidak kalau dalam suasana lebaran seperti ini mungkin Le.100 akan kami kantongi, yah cukuplah untuk mengepulkan asap dapur selama seminggu.

Jam 5 pagi (16/11), sehabis shalat subuh aku dan beberapa teman berangkat dari flat tempat tinggal kami menuju flat salah seorang seniorku yang berada di bilangan Hay Asyir. Beliau boleh dibilang adalah leader kami karena beliau yang mengumpulkan dan mengkordinir kami untuk berkumpul dan berangkat bersama dari rumahnya. Kami harus berangkat pagi-pagi buta karena menurut informasinya kami harus shalat idul adha di tempat pembagian musaádah.

Kami pun berangkat, dan sampai di rumah orang Mesir bernama Ust. Mamduh. Belakangan baru kuketahui kalau Beliau adalah salah satu petugas administrasi di Fakultas Syariáh Islamiyah Universitas Al-Azhar. Perjalanan ke rumah Ust. Mamduh tidak banyak memakan waktu, karena jaraknya tidak begitu jauh dari rumah tempat kami berkumpul sebelumnya. Di rumah beliau ternyata sudah ada rombongan dari negara lain yaitu dari Kazakhstan, salah satu negara pecahan Rusia.

Pada awalnya aku mengira Ust. Mamduh-lah yang akan membagikan musaádah. Namun ternyata dari rumah beliau kami masih harus berangkat lagi ke tempat lain yang belum kami ketahui. Kami di angkut dengan mobil carry kecil yang hanya bermuatan untuk sepuluh orang saja. Beberapa teman harus rela menunggu jemputan selanjutnya karena mobil carry itu tidak cukup memuat semua orang sekaligus. Aku dan empat orang temanku cukup beruntung karena kami mendapat kesempatan berangkat bersama Ust. Mamduh di dalam mobil pribadinya, jadi tidak perlu berdesak-desakan di dalam mobil carry yang hanya muat untuk beberapa orang itu.

Beberapa saat kemudian kami berangkat dan berada dalam perjalanan yang entah menuju ke arah mana. Sedikit pun kami tidak tahu nama tempat yang akan kami tuju, sementara matahari sudah semakin menampakkkan batang hidungnya. Tampaknya tempat yang kami tuju berada di luar kota Cairo, karena semakin lama aku perhatikan, kami semakin jauh keluar dari kota Cairo.

Satu jam perjalanan aku tidak banyak menemukan kehidupan di samping kiri dan kanan jalan yang kulewati. Seiring deru mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi hanya ada padang pasir dan beberapa tiang listrik yang menjulang di pinggir jalan. Beberapa saat kemudian akhirnya kami sampai di sebuah terminal Metro, seingatku namanya Mahattah El-Burg. Dari situ ternyata kami masih harus berbelok ke jalan sempit yang tidak cukup baik. Jalannya banyak berlubang dan dipenuhi dengan genangan air. Ternyanta kami melewati perkampungan kumuh di pinggiran kota. Di jalan-jalan aku lihat banyak orang-orang beriringan menuju Masjid untuk melaksanakan Shalat Idul Adha.

Lantas sejenak aku berpikir, kapan kita shalat Ied-nya? sementara sebentar lagi tampaknya shalat Ied akan segera di mulai karena sesampainya kami di perkampungan tadi matahari sudah cukup meninggi. Dan benar saja beberapa saat kemudian kami pun menjumpai di masjid-masjid pinggir jalan para penduduk sudah memulai shalat Idul Adha. Namun, aku masih belum terlalu hawatir, karena aku berpikir kita masih bisa shalat di tempat yang akan kami tuju.

Seharian Menjadi Tukang Mutilasi

Setelah beberapa saat aku dan teman-temanku terantuk-antuk di dalam mobil yang melaju kencang di jalanan berliku dan berdebu, akhirnya kami sampai di sebuah bangunan kumuh yang serba tertutup. Sekitarnya dikelilingi pagar tinggi.

Aku dan keempat temanku diturunkan di depan pintu gerbang bangunan tua itu. Aku sempat terpaku melihat sekeliling tempat ini. Sebuah bangunan yang tampak sudah tua dan kumuh. Disekelilingnya di pagari dengan tembok yang tinggi mirip sebuah cam tentara. Tepat di depan bangunan ini mengalir sungai kecil yang airnya sudah tidak jernih lagi. Beberapa burung bangau beterbangan disekitar sungai. Tampaknya sungai tadi adalah pecahan dari sungai Nil. Aku berpikiran demikian karena hanya Nil satu-satunya sumber kehidupan air di negeri ini. Entah kalau tidak ada sungai Nil apa jadinya negeri ini.

Tidak banyak rumah penduduk di sekitar tempat yang masih misterius bagi kami ini. Seakan bangunan ini memang sengaja dibangun jauh dari keramaian dan “peradaban“. Dari samping kiri bangunan terlihat beberap Imarah berjejer menjulang tinggi namun itu pun berjarak kira-kira seratus meter-an dari gedung tua ini.

“Hush Gowwah..!“ “Masuklah ke dalam..!“, Suruh Ust. Mamduh setelah beberapa saat menurunkan kami. Kami pun bersama-sama memasuki bangunan yang dikelilingi pagar itu. Dan apa yang kami lihat kawan? Ternyata kami dihadapkan pada sebuah areal peternakan yang cukup luas. Beberapa ekor sapi dituntun memasuki sebuah bangunan besar yang berada di tengah areal peternakan. Kami pun megikuti dan memasuki bangunan itu. Beberapa saat kami berdiri memandangi sekeliling bangunan, dan kami langsung dihadapakan pada pemandangan yang cukup mengerikan.

Ternyata tempat ini adalah areal peternakan sekaligus tempat penjagalan. Beberapa saat aku terpaku dihadapkan pada pemandangan yang menurutku amat sangat mengerikan untuk ukuran tata cara penyembelihan hewan. Tidak pernah aku bayangkan sebelumnya bahwa cara menyembelih orang Mesir akan seperti ini. Disinilah pertama kalinya aku melihat hewan seperti diperlakukan tidak manusiawi. Sungguh benar-benar miris. Dan itu hanya ada di mesir kawan.
Ruang Untuk Memutilasi Hewan Qurban
Lalu, bagaimana Shalat Idul Adha Kami? Yach, pupuslah sudah harapanku untuk shalat Idul Adha tahun ini setelah tahu kalau kami sebenarnya harus bekerja seharian di tempat penjagalan ini. Karena sebenarnya kita adalah relawan untuk kegiatan amal daging kurban. Berkat informasi yang kami ketahui hanya sepotong-sepotong akhirnya kami terdampar di tempat ini. Bagaimana lagi? Mau pulang tentu saja aku tidak tahu jalan. Dan tampaknya memang tidak ada kendaraan. Karena ini berada jauh di luar kota. Mau tidak mau akhirnya kami pun bekerja dengan ikhlas memotong-motong daging sapi yang sudah di sembelih untuk didistribusikan ke seluruh fakir miskin yang ada di pelosok negeri ini.

Tumpukan Daging Yang Harus Kami Kemas
Aku dan teman-teman dari indonesia yang lain kebagian tugas menimbang daging-daging yang sudah dipotong-potong dan menempatkannya ke dalam fum, lalu membungkusnya dengan plastik bening.

Ditengah-tengah kami bekerja memotong dan membungkus daging, sapi-sapi besar terus dikeluarkan dari kandang satu persatu seakan tidak ada habisnya, dan disembelih atau dimutilasi lebih tepatnya dengan ganas dan tanpa sedikit pun rasa belas kasihan. Entah berapa sapi yang dikeluarkan dari kandang. Yang jelas kalau tiga puluh sapi masih lebih. Bayangkan kawan kami harus membungkus daging-daging sapi sebanyak itu. Kami barung pulang ke rumah jam 9 malam dalam keadaan letih yang teramat sangat. 
Hm...nyate bareng.. :)

Yah begitulah, bagaimana pun ini adalah sebuah pengalaman. Sebuah pengalaman sangat mahal harganya, bukankah begitu kawan? dan berkat pengalaman ini kami akhirnya bisa nyate bareng, hasih dari jerih payah seharian menjagal dan memutilasi sapi. Hi... ^_^

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan dan komentar anda..^_^