Monday, September 20, 2010

Romantika “Summer“ Dalam Dekap Bumi Kinanah

ibrims.com; (11/4) Kairo membara. Matahari bersinar terik. Aku baru saja turun dari bus 80 Coret di Mahattah Darrasah, Terminal bus dekat kampus Al-Azhar. Udara panas menampar wajahku dengan keras. Terik matahari terasa menusuk ke ubun-ubun. Debu beterbangan diterpa lalu lalang bus yang hilir-mudik.

Jam mungil di pergelanganku menunjukkan pukul 12:11. Aku masih punya cukup waktu untuk tidak terlambat ke kampus. Setelah turun tadi, aku langsung menuju kursi-kursi panjang tempat penumpang di tengah Mahattah, sejenak melepas lelah setelah kurang-lebih satu jam berdiri di dalam bus tadi.

Aku tak langsung ke kampus, aku masih ingin berlama-lama di terminal bus yang setiap hari kulewati. Sekedar ingin memperhatikan sekeliling, dan merasakan suasana hiruk pikuk dan pengap suasana salah satu terminal bus di Mesir pada musim panas.

Teminal cukup ramai, penuh dengan kerumunan orang-orang yang sedang menunggu angkutan. Bus-bus besar dengan penumpang yang selalu berjubel keluar masuk terminal ini tanpa henti. Bus 80 coret yang kutumpangi baru saja hilang dari pandangan mata. Dua menit setelah aku turun, penumpang dengan tujuan Nasr City segera berjubel memenuhi setiap jengkal ruang bus. Sesaat kemudian langsung berangkat menuju kawasan Hayyul Asyir.


Aku tercenung ditempat dudukku, kuperhatikan sekeliling terminal, tampak beberapa orang bergerombol sibuk dengan aktivitas masing-masing. Di tengah-tengah terminal ada penjual minuman menjajakan dagangannya. Sejenak pandanganku tertuju pada dua sosok gadis Mesir yang berdiri tidak jauh di depanku. Keduanya asik ngobrol sambil menunggu angkutan.

Lamat-lamat kuperhatikan mereka. Keduanya menunggu sambil bercengkrama. Sesekali tawa mereka berderai. Ada sesuatu yang menarik perhatianku. Pakaian mereka cukup mencolok. Yang satu memakai kaos ketat dengan warna merah menyala, sedang yang satu lagi mengenakan kaos yang tak kalah ketat juga dengan warna kuning menyala. Pada kedua lengan mereka ditutup dengan menggunakan kain tipis yang menurutku seperti kaos kaki. Belakangan baru kukethui kalau itu namanya deker. Keduanya memakai kerudung dengan cara khas mesir yang tampak dlilitkan mengelilingi dagu dan kepala hingga tampak berlipat-lipat. Tapi tetap kelihatan elegan.

Dulu, aku membayangkan Mesir seperti negara Arab lainnya. Arab yang identik dengan Jalabiyah panjang hingga menutupi mata kaki atau abaya pada kaum perempuan. Begitu juga dengan sorban lebar bertengger di kepala, atau burqa dan cadar yang menutupi seluruh tubuh para kaum perempuan. Selain abaya, di Mesir sering kita jumpai kerudung terusan yang menyerupai jubah yang dipakai kaum hawa, isdal namanya.. Namun, setelah kujalani dua kali musim panas di negeri kinanah ini, ternyata anggapan itu tidak sepenuhnya benar.

Mesir dengan kemoderatannya memiliki ciri khas tersendiri, berbeda jauh dari kebanyakan negara-negara Arab lainnya. Baik dari segi sosial maupun budaya, khususnya dalam berpakaian, seperti halnya yang saya jumpai di terminal tadi.

Dalam berpakaian, remaja Mesir cenderung menyukai warna-warna yang mencolok, atau boleh dibilang warna-warna norak. Tak jarang akan kita jumpai kaos you can see menempel ketat pada permukaan kulit, Hingga menonjolkan lekuk-lekuk tubuh langsing meski banyak juga yang melar. Warna merah, ungu dan kuning, adalah warna favorit mereka. Warna-warna mencolok itu dipadu dengan celana pensil yang super ceking menutupi tubuh bagian bawah mereka. Fenomena seperti ini akan terlihat serempak di berbagai tempat pada musim panas.

Pada musim panas, Kairo akan terlihat tampak lebih hidup pada malam hari. Hal ini terlihat dari banyaknya penduduk Mesir yang keluar rumah, serentak mereka memenuhi tempat-tempat umum seantero kota. Seperti kedai-kedai jus (asyir), Café, taman-taman kota, dan tempat-tempat publik lainnya. Atau, sebut saja di Qasr el-Nile, salah satu jembatan yang melintang di atas aliran sungai Nil.

Pada musim panas, jembatan yang melintang kurang lebih sepanjang 150 meter di atas sungai nil ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Hingga dini hari tiba, para pengunjung tumpah ruah memenuhi salah satu sisi jembatan. Berbagai macam dandanan dan pakaian modis nan stylis akan kita jumpai.

Mereka, tua-muda berseliweran. Yang tua mengingat romantisme remaja, sedangkan yang muda mabuk dengan masa indahnya. Mereka bercengkrama dengan senyum manja dan bergelayut pada pasangannya, semua itu disaksikan riak air Sungai Nil dibawah jembatan yang berkilauan diterpa cahaya lampu jalanan.

Pemandangan yang benar-benar membuat air liur terburai, agaknya titisan kecantikan Cleopatra itulah daya magisnya. Dan cukuplah pemandangan seperti ini membuat mata kita benar-benar tak ber-iman. Saranku, jangan sekali-kali ke Qasr el-Nil jika kau tak membawa pasangan.

Begitu juga dengan sepanjang Kornisy Nil. Pemandangan serupa adalah menu utama. Meski begitu, mereka hanya tampil modis, bertukar kata mesra. Hanya kata, tak sampai bercinta. Begitu juga dengan pakaian, kaum hawa hanya tampil dengan pakaian ketat, sangat jarang kita jumpai rok sepan atau celana pendek. Bila itu ada, mereka adalah wisatawan asing atau pribumi yang berdomisili di Eropa. Melihat fenomena ini, seorang rekan Mesir berucap “Mereka semua terkontaminasi budaya asing, tapi biarlah kita hanya bisa berdoa“. Komentar yang menarik kawan!

Perahu-perahu terapung berhiaskan pernak pernik lampu menawarkan jasa berselancar di atas permukaan Sungai Nil juga tak kalah meriah. Dengan merogoh kocek 3 hingga 5 Pond Mesir, Para penumpang perahu akan disuguhi suara musik dengan irama menghentak dan suguhan tarian mirip bally dance. Para penari yang sejatinya para penumpang itu, menari tanpa diminta. Apalagi ada orang asing dalam perahu. Seorang teman flatku pernah diajak menari, ia menolak karena tak tahu bagaimana cara menggoyang pinggul tanpa menggerakkan anggota badan lainnya.

Sedangkan penduduk pribumi yang berusia senja, mereka memiliki budaya sendiri sesuai selera usianya. Mereka lebih memilih kedai-kedai jus (asyir) pinggir jalan sebagai tempat berkumpul. Atau duduk ongkang-ongkang kaki di café seraya menghisap syisa. Ada juga yang duduk bergerombol sambil bermain domino atau nonton bareng acara siaran langsung sepak bola kesayangan, tentu tak lupa ujung syisa tetap menempel di bibir, dan mengepulkan asap aroma buah.

Lantas kemanakah kaum ibu? Kaum ibu, walau sebagian ada yang ikut keluar mengikuti suaminya, tapi kebanyakan mereka tampaknya lebih memilih berdiam diri di dalam rumah dari pada kelayapan di luar mengikuti anak maupun suaminya. Mereka memiliki dunianya sendiri di depan televisi atau merasa cukup dengan badan besar tanda kebahagiaan yang mereka yakini itu.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan dan komentar anda..^_^