Thursday, May 6, 2010

Antara Cinta dan Cita-Cita

Semburat cahaya kemerahan masih tersisa di ujung barat kota Cairo. Hari baru saja beranjak malam. Qasr El Nile sudah mulai ramai, berbagai jenis mobil lalu lalang tiada henti melintasi jembatan yang melintang diatas permukaan sungai Nil ini. Udara berhembus pelan. Dingin meresap. Bulan ini sudah mulai memasuki musim dingin. Lampu-lampu di pinggiran Qarneish sudah mulai dihidupkan, cahanya membias ke dalam sungai nile, membentuk bayangan indah, menyerupai kota dibawah kedalaman air.

Kuberdiri di pinggiran Qasr El Nile, memandangi riak-riak air sungai yang berkemilauan diterpa cahaya lampu jalanan. Kutumpukan kedua siku pada pagar jembatan, kebetulan pagar jembatan ini hanya sedadaku. Sudah dari tadi aku hanya diam mematung di atas jembatan ini. Lalu lalang orang dibelakangku tak kuhiraukan. Pikiranku berkecamuk sendiri. kugenggam erat telepon genggamku. Berulang kali kubuka message di inbox telepon genggam itu. Sebuah pesan kuterima tadi sore dari kampung halaman. Entah sudah yang keberapa kali aku membacanya, namun isinya tetaplah begitu tidak pernah berubah. Ada rasa perih menyengat setiap kali kubaca pesan singkat itu.


Udara semakin dingin, sedingin hatiku malam ini. Pikiranku pun menerawang, mengingat masa-masa yang telah lama lewat. Enam bulan yang lalu, sebelum aku memutuskan meninggalkan kampung halaman untuk mengejar mimpi.
“Nak..“
“Ya Bunda..!“
“Benar kamu sudah punya pacar?“ aku begitu terhenyak mendengar sebuah pertanyaan dari bundaku hari itu. Dari mana beliau tahu tentang hal ini? Bukankah beliau cuek saja terhadap segala jenis kegiatanku selama ini. Atau mungkinkah beliau secara diam-diam memperhatikanku. Ah, dalam keadaan seperti ini aku hanya bisa diam. Entah kenapa setiap memandang mata teduh wanita yang begitu aku hormati itu, sedikitpun aku tidak pernah bisa berbohong darinya. Mata teduhnya masih memandang lekat ke arahku. Aku tertunduk.
“Sebentar lagi kamu akan berangkat, bunda tidak melarangmu untuk mencari pendamping hidup sejak dini, tapi apakah tidak sebaiknya kamu konsentrasi dulu pada mimpimu?“ aku tetap diam, tertunduk kaku di depan wanita paruh baya itu. aku tidak berani mengangkat wajahku menentang pandangan mata teduhnya. Bunda yang selama ini aku sayangi. Bagaimana pun perkataan Bunda ada benarnya. Aku butuh konsentrasi penuh guna mengejar mimpiku. Tapi apakah aku harus meninggalkannya?. meninggalkan seseorang yang selama ini telah hadir mengisi ruang kosong di hatiku.

Perasaanku sedikit bergejolak. Sejak saat itulah aku bingung harus berbuat apa. Kini aku dihadapkan pada dua pilihan yang teramat sulit. Dua orang yang begitu aku sayangi. Hingga akhirnya keluarlah keputusan itu. Keputusan di luar batas kemampuanku. Entah benar atau salah aku sendiri tidak tahu, pikiranku masih bingung.
“Benarkah kau akan pergi mas?“
“Ya de..“ suaraku serak, menanggapi suara wanita yang malam itu duduk di sampingku. wanita yang selama ini membuat hari-hariku jauh dari kesepian. Kubiakan kepalanya menyandar ke pundakku.
“Mengapa selalu saja ada perpisahan, ketika hati tak lagi menginginkan“ wanita disampingku bergumam lagi. Hatiku pun semakin pilu mendengarnya.
“Entahlah de.. mungkin tuhan mempunyai rencana lain dibalik semua ini.“ kutengadah menatap langit. Memandangi gemerlap bintang yang mulai redup dihalangi mendung. Sama seperti perasaanku saat ini. Cahaya hatiku begitu redup, mendung telah menyelimutinya. Aku hanya diam. Tidak tahu apa yang harus kukatakan selanjutnya. Begitu juga dengan wanita disampingku, ia hanya terpekur, memadangi jemari kakinya. Sambil memeluk kedua lututnya.
“Aku akan menunggumu mas“ tiba-tiba bibirnya bergerak lirih.
“Maafkan aku nad, aku tidak ingin kau menungguku.“
“Kenapa mas...?“
“Karena aku sendiri tidak tahu kapan aku akan kembali. Aku tidak ingin kau menungguku dalam ketidak pastian.“
“Apakah kau mencintaiku mas?“
“Sangat de, aku sangat mencintaimu, sama sekali perasaanku tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang.“
“Lalu apa yang membuatmu menyuruhku untuk tidak menunggumu mas?“ matanya mulai sembab oleh genangan air mata.
“Entahlah de, mungkin suatu saat nanti kita akan sama-sama mengerti.“
Kembali kami berdua membisu dalam keremangan malam. Rembulan semakin besinar redup. Kurangkul wanita itu dengan lengan kananku. Ia pun menjatuhkan kepalanya kedalam pelukanku. Air mata sudah membanjiri pelupuk matanya. Begitu juga diriku.
“Maafkan aku nad,“ dengan suara yang sudah terlampau serak kumemecah kebisuan, “Kelak kalau memang jodoh kita pasti akan bertemu kembali, percayalah. Selama aku pergi carilah orang yang lebih baik dariku.“

Malam sudah semakin larut. Wanita itu masih membisu. Kubimbing ia untuk bangkit dari duduk. Matanya masih basah. Tatapannya nanar. Kuhapus air matanya dengan punggung tanganku. Dia pun menatap sendu ke arahku. Tiba-tiba ia menghambur ke arahku, mencengkramku dengan erat. Aku pun tak kuasa menahan gejolak hatiku. Hatiku semakin perih. Kudekap wanita itu dengan erat. “Maafkan aku de..“, suaraku nyaris tak terdengar ditelan isak tangisnya dan tangisku sendiri.

itulah kali terakhir aku bertemu dengannya, aku tidak tahu apakah aku terlalu kejam padanya. Aku tidak mengerti, dan semakin tidak mengerti. Yah, mungkin inilah hidup. Hidup penuh pilihan. Pilihan yang begitu merumitkan. Seperti pilihanku ini. Aku masih bertanya-tanya, dan masih belum kudapatkan jawabannya. Hingga akhirnya kuterima sebuah pesan sore ini.

"Aww.ni aq. maafkn ats smw ksalhnq k u,q ingin mnymbut msa dpnq tnpa ad mslh atau bebn dmasa lalu,q mnta doanx,,saat ne q dlm proses pndktan kelrga.ad yg mw mmntaq.doakn ya..q ingin mngbdi mnjd pndmping hdupx,wlopnqt bru slg knal qt insyalh qt dah co2k 1ma lain."

Entah, kenapa hati ini begitu perih setiap kali membaca pesan singkat itu. Ada rasa kehilangan ketika kutahu ia tak mungkin lagi bisa kugapai. Mungkin inilah konsekwensi dari pilihan itu. Cukup rumit memang, tapi kini aku harus. Harus merelakannya dengan ikhlas. Ikhlas, dan ikhlas.
----------------------
Note :
Qasr El Nile : Nama salah satu jembatan yang melintang di atas sungai nile, Mesir.
Qarneish : Kota di tepian sungai nile.

No comments: