Wednesday, October 14, 2009

Hubert, Germany, and Egypt


Penghujung musim panas matahari bersinar terik di atas Giza. Jam di lengan kiriku sudah menunjukkan angka 12. saya dan sahabatku terus berjalan menyusuri Syari´ Faishal. Salah satu nama jalan di daerah Giza. Berjalan dibawah terik matahari di penghujung musim panas memang cukup membuat ubun-ubun terasa terpanggang serasa berada di dalam oven. Beberapa kali kutegak air mineral yang sengaja dibawa oleh sahabatku. Keringat mengucur menbasahi pelipis dan punggungku. Kaos oblong yang kukenakan terasa basah oleh keringat. Sungguh hari yang sangat melelahkan. Namun tidak bagi sahabatku itu, diusianya yang sudah menginjak kepala enam, dia enteng saja berjalan menyusuri jalanan berdebu syari´faishal. Toh, walaupun keringatnya membanjiri pakaiannya, tapi ia tetap bersemangat dan terus berjalan menyusuri jalanan berdebu. Dia bahkan tidak henti-hentinya berkata ``i like this clime.´´ Mungkin karena selama ini ia tinggal di lingkungan dingin. Sehingga ketika berada di mesir dan merasakan musim panas, ia sangat menyukainya.
Syari´ Faishal yang kami susuri ini merupakan salah satu daerah padat lalu lintas di daerah Giza. Klakson mobil silih berganti berbunyi memekakkan telinga. Kereta keledai pun berbaur bersama mobil-mobil mewah milik para kayawan mesir. Di salah satu perempatan ujung sana saya sempat melihat sebuah kereta keledai tiba-tiba berbelok seenaknya saja memotong jalan dan berhenti di tengan-tengah jalan. Dua buah mobil berhenti mendadak dengaan suara rem bercericit. Maka mau tak mau mobil yang dibelakangnya pun harus berhenti juga. Hingga menjadi deretan mobil memanjang ke belakang. Kemacetan pun tak dapat terelakkan lagi. Beberapa sopir mengumpat sekenanya. Sang kusir keledai bingung mengendalikah laju keledainya. Sedang klakson mobil terus berbunyi saling menyahut diiringi umpatan para sopinya. Sahabatku hanya geleng-geleng kepala melihat adegan tanpa sutradara itu. Yah... begitulah lalu lintas mesir. Semrawut dan penuh dengan ketidak teraturan.
Hubert Lange, itu adalah nama sahabatku. Hubert adalah bule berkewargaan Jerman. Kedatangan Hubert ke Mesir adalah dalam rangka liburan dan bertemu denganku, sahabat dunia mayanya selama ini. Selama dua pekan berada di Bumi Kinanah, ganasya musim panas di mesir bukan masalah baginya. Di usianya yang sudah menginjak enam puluh, berjalan berkillo-kilo meter dibawah terik matahari bukan masalah baginya. Tapi ada dua hal yang sering dikeluhkan olehnya selama dua pekan berada di Mesir. Lalu lintas Mesir yang tak teratur dan budaya buang sampah sembarangan.
Lalu lintas di Mesir memang penuh dengan ketidak teraturan. Maka Jangan heran kalau melihat perempatan jalan di salah satu jalan besar di Mesir tanpa rambu-rambu lalu lintas.
Perempatan jalan atau pun pertigaan biasanya hanya diatur oleh satu atau dua orang polisi satlantas, yang sering kali kewalahan menghadapi padatnya lalu lintas. Maka tak ayal lagi kemacetan sering kali terjadi. Sering kali saya bertanya pada teman-temanku, ``Kenapa sih perempatan disini tidak memakai lampu merah?.´´ Temanku biasanya hanya tersenyum dan berkata,``Yah.. begitulah Cairo, kalau semua perempatan memakai lampu merah lalu kerja polisi apa?.´´ Masuk akal juga pikirku. Toh, walaupun jawaban itu menurutku hanya klise saja.
Berbeda dengan Eropa, tempat dimana sahabatku itu tinggal. Sebut saja Jerman salah satu negara Eropa, yang merupakan negara dan tempat tinggalnya. Di eropa lalu lintas begitu teratur. Lampu tiga warna, merah, kuning, hujau selalu menghiasi perempatan ataupun pertigaan jalan. Budaya membunyikan klakson di kepadatan lalu lintas pun kata Hubert adalah hal yang kurang wajar di Jerman. Para pengendara membunyikan klakson hanya seperlunya saja. ``Jika kamu berada di Eropa dan membunyikan klakson sembarangan bisa-bisa kamu dimarahin orang´´ begitu sahabatku itu bertutur.
Keluhan ini tidak hanya datang dari Hubert, pernah pada suatu kesempatan saya dan Hubert bertemu dengan seorang turis asal Sepanyol di dalam bus antar jemput milik hotel tempat kami menginap. Namanya Margaret. ``Wao, traffic here is so crazy..! This is very horrible for me.´´ Keluhnya. Yah.. begitulah adanya lalu lintas di Mesir. Belum lagi watak orang mesir yang suka nyolonong ``sak kareppe dewe´´ dan gak mau ngalah, ketika mau menyalip mobil atau pun motor yang ada di depannya. Benar-bener very horrible..
Kembali ke Syari´Faishal. Kami terus berjalan, entah sudah berapa kilo kami tempuh. kami tidak perduli. kami pun sudah tidak tahu mana itu barat dan mana timur. Karena ini adalah daerah baru bagi kami.
Tanpa berpikir lelah kami terus berjalan, Sesekali kami berpapasan dengan para pejalan kaki dan orang-orang yang sedang asik menghisap sisha di kedai pinggir jalan. Tampaknya mereka cukup heran melihat orang Asia dan Eropa berjalan di gang-gang sempit seperti ini. Sesekali ada yang menyapa walau hanya sekedar ucapan how are you dengan logat yang dipaksakan.
beberapa lama akhirnya kami melihat kerumunan orang-orang berjualan di sebuah gang. Sebuah pasar kumuh, Ya begitulah kebanyakan pasar di Mesir. Termasuk pasar yang kami temukan ini. Rasa ingin tahu kembali mengusik hati kami. Dengan langkah gontai akhirnya kami masuk berbaur bersama pembeli dan penjual di kanan kiri jalanan gang yang dibuat pasar ini. Kios dan toko berdiri tak teratur di kedua sisi gang. Pasar ini adalah deretan Imarah yang berhadap-hadapan memanjang dan membentuk gang-gang. Entah pasar apa namanya kami belum sempat bertanya pada penduduk setempat. Kami hanya terus berjalan menyusuri pasar kumuh ini. Sesekali kami berpapasan dengan onggokan sampah dan bau tidak sedap khas pasar Mesir. Bau pesing pun tidak mau kalah, semerbak menusuk hidung. Mungkin ini adalah kerjaan orang-orang mesir yang suka menganut paham ``likulli jidarun hammamun.´´
Beberapa kali Hubert geleng-geleng kepala melihat tumpukan sampah yang menggunung di pinggir jalan. ``Oh no!, inikah yang akan kita wariskan pada anak cucu kita kelak?.´´ Tiba2 Hubert berkomentar. Tampaknya dia menyayangkan kebiasaan orang-orang Mesir yang suka buang sampah sembarangan.
Sampah memang sudah menjadi momok yang cukup mengerikan di mesir. Tidak jarang di pojokan kota saya sering menjupai gundukan sampah yang menggunung. Sebagai umat Muslim, saya cukup malu juga ketika sahabatku itu berkomentar begitu. ``Annadhafatu minal iman´´ bukankah itu sudah biasa menjadi jargon sehari-hari kita kawan, tapi entahlah pengaplikasiannya kapan.
Pernah suatu ketika Hubert menegorku karena saya membuang botol air mineral di pinggir jalan,
``Please don´t do it!´´ begitu ia berkata sambil memandang lekat ke arahku. Lantas dia bercerita kalau di negaranya, jerman kebersihan sangatlah diperhatikan. Kita tidak boleh membuang sampah sembarangan. kalau kita melakukan itu bisa-bisa kita mendapat denda kalau ketahuan oleh petugas.
Untuk menanggulangi penumpukan sampah pemerintah Jerman punya cara yang mungkin dapat kita acungi jempol. Pemerintah Jernan mewanti-wanti setiap perusahaan makanan ataupun minuman agar dalam pengemasannya menggunakan kaleng atau botol.
Dengan menggunakan botol atau pun kaleng, pemerintah Jerman berharap bisa meminimalisir pencemaran lingkungan, karena nantinya botol tersebut bisa dijual kembali pada setiap Supermarket ataupun toko tempat kita membeli dengan harga 10-50 sen-nan, lalu toko akan meneruskan mengembalikannya ke pabrik untuk di daur ulang. Jadi tidak ada botol minuman berserakan di pinggir jalan seperti yang sering kita jumpai disini. Cara yang cukup jitu menurutku.
Lantas tiba-tiba benakku berpikir. Bagaimanakah dengan negara kita, Indonesia? Sudah bebaskah dari tumpukan sampah? Entahlah, tidak usah kau jawab pertanyaan ini kawan, mungkin hanya rumput yang bergoyang, yang tahu jawabannya.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan dan komentar anda..^_^